Oleh: Salihudin M. Awal
Pesan Prof. Dr. Zainal Abidin, Rais Suriah PB NU dan Ketua FKUB Sulawesi Tengah memicu saya menulis artikel ini, mumpung masih dalam suasana maulid nabi. Dalam Quote yg dikirim kepada saya beliau menulis : “Tugas seorang Nabi dan pewarisnya adalah berdakwah, bukan memaksa orang berpindah agama menjadi muslim.” Kalimat ini simpel tapi menyimpan makna mendalam. Dakwah adalah ajakan, bukan paksaan; dialog, bukan monolog. Apalagi di era digital, pesan ini terasa semakin relevan.
Dalam tradisi Islam, dakwah adalah upaya menyampaikan kebenaran dengan penuh hikmah, kesabaran, dan kasih sayang. Al-Qur’an menegaskan: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256). Para nabi hadir untuk memberi teladan, bukan intimidasi. Karenanya, setiap pewaris tugas kenabian—baik ulama, intelektual, maupun umat biasa—harus memahami bahwa kekuatan dakwah bukan pada suara keras atau iming2 barang tetapi pada ketulusan dan akhlak mulia.
Di sinilah pesan Prof. Zainal menemukan konteksnya. Dakwah bukan sekadar ceramah, melainkan komunikasi yang menyentuh hati. Ia mengingatkan kita agar tidak terjebak pada obsesi “mengislamkan” orang lain, melainkan membumikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Kini, dakwah telah merambah ruang-ruang baru: media sosial, YouTube, podcast, hingga aplikasi pesan singkat. Dakwah digital memungkinkan pesan kebaikan menjangkau jutaan orang tanpa batas ruang dan waktu.
Penelitian oleh Campbell & Tsuria (2021) dalam Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media menunjukkan bahwa agama di era digital bukan hanya dipindahkan ke ruang online, tetapi juga membentuk pola interaksi baru, di mana jamaah tidak lagi pasif, melainkan aktif merespons dan berdialog.
Fenomena ini membuka peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dakwah digital bisa lebih inklusif, melampaui sekat geografis. Namun di sisi lain, ia rentan tergelincir menjadi konten provokatif atau sensasional demi mengejar “klik” dan “view”.
Dakwah digital seharusnya menjadi ruang perjumpaan, bukan ruang penghakiman. Misalnya, ketika seorang ustaz berdialog di TikTok tentang kesehatan mental atau keuangan keluarga, itu menjadi pintu dakwah yang ramah. Ia tidak melulu berbicara soal ritual, tapi juga soal kehidupan sehari-hari.
Seperti diingatkan Hoover & Echchaibi (2012) dalam riset Media and Religion: Foundations of an Emerging Field, media modern memberi peluang agama untuk tampil sebagai sumber makna, bukan hanya doktrin. Inilah wajah dakwah digital yang sejalan dengan pesan Prof. Zainal: berdakwah tanpa memaksa, merangkul tanpa menghakimi.
Namun ada catatan penting: dakwah digital harus menjaga etika. Penyampaian harus berbasis data, literasi agama yang kuat, dan disampaikan dengan akhlak. Menurut Al-Attas (1993), inti pendidikan Islam adalah adab—menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya, dakwah digital harus menempatkan manusia sebagai subjek yang dihormati, bukan objek yang ditaklukkan.
Di bulan Maulid ini, refleksi atas dakwah Nabi menjadi begitu berarti. Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan kelembutan, bukan paksaan. Kini, kita ditantang untuk menghidupkan semangat itu di ruang digital. Dakwah bukan lagi sekadar mengisi mimbar masjid, tetapi juga ruang-ruang virtual yang kini menjadi bagian dari kehidupan kita.
Maka benar kata Prof. Zainal Abidin: tugas kita bukan memaksa orang memeluk Islam, tetapi menghadirkan wajah Islam yang ramah, menyejukkan, dan relevan dengan zaman. Dakwah digital haruslah menjadi cahaya yang menerangi, bukan bara yang membakar. (*)
Penulis adalah warga Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.